https://gramosphere.com/media/1121457421893730212
Sabtu menjadi hari yang
bebas bagi sebagian orang dan sering dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan,
dari yang sifatnya santai sampai yang serius. Kali ini hari sabtuku
dimanfaatkan untuk datang dan menunaikan tugas setengah hari di Madrasah
Istiqlal terlebih dahulu kemudian berlanjut menuju Gedung KPU (Komisi Pemilihan
Umum) Wilayah Jakarta Timur yang terletak di kawasan Cempaka Putih Raya.
Tepat pukul 13.00 aku
beranjak memenuhi undangan sebagai pembicara yang nanti juga dipanelkan dengan
Kang Wage Wardhana (Komisioner KPU Jakarta Timur sekaligus Senior PMII Jakarta
Timur). Dalam hal ini kami akan masuk dalam suatu kegiatan “Nonton Bareng dan
Bedah Film Stoning Soraya” yang diselenggarakan oleh sahabat-sahabati Korp PMII
Putri (KOPRI) Komisariat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jakarta Timur yang
diselenggarakan di Aula KPU Jakarta Timur.
Sekitar pukul 14.00 aku
tengah berada di lokasi acara. Ternyata sahabat-sahabati masih sibuk dalam
proses persiapan acara. Baiklah aku bersantai sejenak dahulu sambil
mendengarkan rekaman lagu “Ibu” ciptaan Ibu Nibras OR Salim (Pendiri Madrasah
Istiqlal) yang pagi tadi baru aku buat bersama dengan Pa Nasrul di Madrasah.
Aku meminta bantuannya untuk memainkan alat musik gitar sebagai pengiring,
bukan tanpa alasan aku membuat rekaman tersebut. Karena empat hari ke depan
ibuku ulang tahun. Yeyeye...
Kembali ke acara, setelah acara dibuka secara resmi kami
disajikan sebuah tayangan film yang menjadi topik kajian siang ini “The
Stoning of Soraya”. Sahabat-sahabati sangat antusias menonton tayangan film ini. Film
yang diperankan
oleh “Soraya
(Mozhan Marno) adalah seorang ibu dari empat anak, dua lelaki dan dua
perempuan. Ali (Navid Negahban), suaminya, adalah seorang sipir penjara yang
berpengaruh. Dengan pengaruhnya, dia bisa membebaskan terpidana yang bersalah,
dengan imbalan jasa tentunya. Salah satu terpidana yang pernah merasakan
’kebaikan’ Ali adalah Mullah (Ali Pourtash), seorang pemuka agama setempat.
Kepada Mullah inilah Ali menagih budi baiknya dahulu dengan meminta Mullah
untuk mendukungnya bercerai. Karena Ali sudah tidak sabar ingin menikah (lagi)
dengan perawan 14 tahun, anak dari salah satu napinya. Sipir ini bermaksud
mengawininya. Namun, merasa berat bila harus menafkahi dua istri sekaligus.
Kesimpulannya, istri yang sekarang harus disingkirkan!”
Caranya,
para licikus itu mendesak Soraya untuk bekerja di rumah Hashem membantu
mengurusi rumah tangga dan anak semata wayang Hashem, mengingat Hashem masih
dalam kondisi limbung akibat ditinggal mati istrinya. Setelah beberapa hari
Soraya bekerja, Hashem dipanggil oleh kedua tokoh antagonis kita tersebut, duet
maut Ali dan Mullah. Dia didesak untuk membuat pengakuan palsu di hadapan
walikota Ebrahim (David Diaan), bahwa ada perzinahan yang terjadi antara
dirinya dengan Soraya. Pria lugu ini tidak berdaya di bawah intimidasi mereka.
Pilih menuruti kemauan mereka atau status anaknya akan diubah dari piatu
menjadi yatim piatu! Hashem memilih opsi yang pertama.
Atas
dasar kesaksian palsu itu, dan dengan dibumbui hasutan Ali kepada para tetangga
bahwa istrinya telah berzina, bapak walikota menjatuhkan vonis hukuman rajam
kepada Soraya. Pembelaan diri Soraya yang didukung penuh bibinya tidak didengar
sama sekali. Pernyataan Zahra bahwa all women are guilty, and all men
are innocent jelas menunjukkan bahwa di daerah itu kesetaraan gender
belum mendapat tempat yang layak. Perempuan hanyalah alas kaki laki-laki yang
untuk berpendapat pun tak akan didengar. Dengan tubuh dipendam sebatas pinggang
dan tangan terikat, Soraya harus menghadapi maut, menyongsong ratusan batu yang
meluncur deras mengarah kepadanya.
Tangisan serta haru
kesedihan tergambar jelas di wajah para sahabat. Memang film ini telah menyulap
perasaan siapapun yang menontonnya dan kini giliran aku dengan kang wage
mengajak sahabat-sahabati untuk mengkritisi film yang sejak kurang lebih selama
dua jam disajikan di depan mata kami.
Antusias yang tinggi masih
menyelimuti para peserta acara. dan akhirnya kami mengambil sebuah hikmah serta
pelajaran dari tayangan tersebut bahwa kebenaran tidak dapat hanya dibuktikan
dengan kata-kata karena kata-kata bisa menjadi kebohongan, kebenaran hanya bisa
dirasakan kepada orang-orang yang masih memiliki rasa kemanusiaan . Semoga
bermanfaat.
Waktu sudah menunjukkan
pukul 17.00 dan aku segera bergeser memikirkan agenda selanjutnya. Awalnya aku
sudah buat janji dengan beberapa senior untuk berangkat menuju lokasi
berikutnya namun pada akhirnya rencana itu berputar. Setelah mengisi acara
bedah film aku lantas pulang ke rumah, dan hasil perbincangan dengan kang wage
dengan sahabat-sahabati dari UNJ kita akan menuju ke lokasi bersama-sama
mengendarai mobil sahabat dari PMII Jakarta Timur. Akhirnya aku lebih memilih
kembali lagi ke gedung KPU Jakarta Timur dan berangkat bersama mereka.
Saturday,
November 14th 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar