Tes

Kamis, 10 Maret 2016

Nobar dan bedah film “The Stoning of Soraya” by (Korp PMII Putri) Universitas Negeri Jakarta





https://gramosphere.com/media/1121457421893730212

Sabtu menjadi hari yang bebas bagi sebagian orang dan sering dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan, dari yang sifatnya santai sampai yang serius. Kali ini hari sabtuku dimanfaatkan untuk datang dan menunaikan tugas setengah hari di Madrasah Istiqlal terlebih dahulu kemudian berlanjut menuju Gedung KPU (Komisi Pemilihan Umum) Wilayah Jakarta Timur yang terletak di kawasan Cempaka Putih Raya.

Tepat pukul 13.00 aku beranjak memenuhi undangan sebagai pembicara yang nanti juga dipanelkan dengan Kang Wage Wardhana (Komisioner KPU Jakarta Timur sekaligus Senior PMII Jakarta Timur). Dalam hal ini kami akan masuk dalam suatu kegiatan “Nonton Bareng dan Bedah Film Stoning Soraya” yang diselenggarakan oleh sahabat-sahabati Korp PMII Putri (KOPRI) Komisariat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jakarta Timur yang diselenggarakan di Aula KPU Jakarta Timur.

Sekitar pukul 14.00 aku tengah berada di lokasi acara. Ternyata sahabat-sahabati masih sibuk dalam proses persiapan acara. Baiklah aku bersantai sejenak dahulu sambil mendengarkan rekaman lagu “Ibu” ciptaan Ibu Nibras OR Salim (Pendiri Madrasah Istiqlal) yang pagi tadi baru aku buat bersama dengan Pa Nasrul di Madrasah. Aku meminta bantuannya untuk memainkan alat musik gitar sebagai pengiring, bukan tanpa alasan aku membuat rekaman tersebut. Karena empat hari ke depan ibuku ulang tahun. Yeyeye...

Kembali ke acara, setelah acara dibuka secara resmi kami disajikan sebuah tayangan film yang menjadi topik kajian siang ini “The Stoning of Soraya”. Sahabat-sahabati sangat antusias menonton tayangan film ini. Film yang diperankan oleh “Soraya (Mozhan Marno) adalah seorang ibu dari empat anak, dua lelaki dan dua perempuan. Ali (Navid Negahban), suaminya, adalah seorang sipir penjara yang berpengaruh. Dengan pengaruhnya, dia bisa membebaskan terpidana yang bersalah, dengan imbalan jasa tentunya. Salah satu terpidana yang pernah merasakan ’kebaikan’ Ali adalah Mullah (Ali Pourtash), seorang pemuka agama setempat. Kepada Mullah inilah Ali menagih budi baiknya dahulu dengan meminta Mullah untuk mendukungnya bercerai. Karena Ali sudah tidak sabar ingin menikah (lagi) dengan perawan 14 tahun, anak dari salah satu napinya. Sipir ini bermaksud mengawininya. Namun, merasa berat bila harus menafkahi dua istri sekaligus. Kesimpulannya, istri yang sekarang harus disingkirkan!”

Caranya, para licikus itu mendesak Soraya untuk bekerja di rumah Hashem membantu mengurusi rumah tangga dan anak semata wayang Hashem, mengingat Hashem masih dalam kondisi limbung akibat ditinggal mati istrinya. Setelah beberapa hari Soraya bekerja, Hashem dipanggil oleh kedua tokoh antagonis kita tersebut, duet maut Ali dan Mullah. Dia didesak untuk membuat pengakuan palsu di hadapan walikota Ebrahim (David Diaan), bahwa ada perzinahan yang terjadi antara dirinya dengan Soraya. Pria lugu ini tidak berdaya di bawah intimidasi mereka. Pilih menuruti kemauan mereka atau status anaknya akan diubah dari piatu menjadi yatim piatu! Hashem memilih opsi yang pertama.

Atas dasar kesaksian palsu itu, dan dengan dibumbui hasutan Ali kepada para tetangga bahwa istrinya telah berzina, bapak walikota menjatuhkan vonis hukuman rajam kepada Soraya. Pembelaan diri Soraya yang didukung penuh bibinya tidak didengar sama sekali. Pernyataan Zahra bahwa all women are guilty, and all men are innocent  jelas menunjukkan bahwa di daerah itu kesetaraan gender belum mendapat tempat yang layak. Perempuan hanyalah alas kaki laki-laki yang untuk berpendapat pun tak akan didengar. Dengan tubuh dipendam sebatas pinggang dan tangan terikat, Soraya harus menghadapi maut, menyongsong ratusan batu yang meluncur deras mengarah kepadanya.


Tangisan serta haru kesedihan tergambar jelas di wajah para sahabat. Memang film ini telah menyulap perasaan siapapun yang menontonnya dan kini giliran aku dengan kang wage mengajak sahabat-sahabati untuk mengkritisi film yang sejak kurang lebih selama dua jam disajikan di depan mata kami. 

Antusias yang tinggi masih menyelimuti para peserta acara. dan akhirnya kami mengambil sebuah hikmah serta pelajaran dari tayangan tersebut bahwa kebenaran tidak dapat hanya dibuktikan dengan kata-kata karena kata-kata bisa menjadi kebohongan, kebenaran hanya bisa dirasakan kepada orang-orang yang masih memiliki rasa kemanusiaan . Semoga bermanfaat.

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 dan aku segera bergeser memikirkan agenda selanjutnya. Awalnya aku sudah buat janji dengan beberapa senior untuk berangkat menuju lokasi berikutnya namun pada akhirnya rencana itu berputar. Setelah mengisi acara bedah film aku lantas pulang ke rumah, dan hasil perbincangan dengan kang wage dengan sahabat-sahabati dari UNJ kita akan menuju ke lokasi bersama-sama mengendarai mobil sahabat dari PMII Jakarta Timur. Akhirnya aku lebih memilih kembali lagi ke gedung KPU Jakarta Timur dan berangkat bersama mereka.

Saturday, November 14th 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar